Sabtu, 20 September 2008

TUHAN YESUS, INI OWE, A CONG....

Ini sebuah kisah nyata yang menarik dan menyentuh. Ada seorang laki-laki paruh baya, umur 50 tahunan. Ia dipanggil A Cong. Miskin harta, tetapi jujur dan tekun. Kejujuran dan ketekunan itu mendapat perhatian seorang pemilik toko material di daerah Glodok, Pinangsia, Jakarta. A Cong diangkat menjadi CEO (chief executive officer) atau penanggung jawab penuh toko tersebut. Usaha material itu meraup sukses luar biasa.

Sedemikian sibuknya A Cong di toko itu melayani pembeli, sampai ia tak sempat makan dengan teratur. Bahkan tidak jarang ia makan sambil tetap melayani… Tetapi, di tengah kesibukannya, setiap jam 12 siang ia menyempatkan diri berlari ke sebuah Gereja di dekat situ. Dan itu ia lakukan tiap hari, sudah lebih dari tiga setengah tahun.

Sampai pada suatu hari kecurigaan seorang pastor memuncak .. ! Ia telah memperhatikan dan mengamati fenomena aneh ini di Gerejanya. A Cong datang di pintu Gereja, hanya berdiri saja, membuat tanda salib, lalu segera pergi lagi...
Ritual itu setia dilakukan A Cong, tiap-tiap hari, itu-itu saja. Adakah udang dibalik batu??? Jangan-jangan ..... Romo yang penasaran itu mencari kesempatan menghadang si A Cong, dan bertanya tanpa basa-basi lagi;
”Maaf, Cek (panggilan menghormat bagi laki-laki Tionghoa), kenapa Encek saben hari datang jam 12 begini, cuman berdiri aja di pintu, bikin tanda salib, terus cepet-cepet pergi?”
Kaget, si A Cong menjawab tersipu: “Hah?!...? Lomo, owe ini olang sibuk, owe punya waktu seliki, tapi owe seneng dateng kemali.”
Jelas, Romo belum puas dan terus mendesak: ”Emangnya apa yang Encek lakukan di pintu gereja gitu?”
Jawab A Cong dengan polos: “Ngga ada apa-apa. Benel Owe cuman bilang ini doang: Tuhan Yesus, ini owe, A Cong. Uuudah .”
Terbengong, hanya 'Oh....!' yang bisa dilontarkan sang Romo. Dan A Cong pun bergegas kembali ke tokonya.

Pada suatu hari A Cong sakit parah karena super sibuk dan makan sekenanya, tidak teratur. Komplikasi penyakitnya cukup berat sehingga ia dilarikan kerumah sakit. A Cong bukan orang kaya, maka ia menempati kamar kelas 3, satu kamar dihuni 8 orang pasien. Sejak masuknya A Cong, kamar itu menjadi ceria, penuh canda tawa.Tak terasa 3 bulan sudah A Cong dirawat. Ia pun sembuh dan diperbolehkan pulang.

Ia gembira, tentunya, tetapi teman-teman sekamarnya bersedih. Selama dirawat itu, semua sesama pasien dihiburnya. A Cong setiap pagi menghampiri teman-teman pasiennya, satu per satu, dan menanyakan keadaan masing-masing.. Sayang, sekarang A Cong harus pulang dan kamar itu akan kembali sunyi.

Akhirnya salah seorang sesama pasien mencoba bertanya: ”Eh, Cek A Cong, mau nanya nih. Kenapa sih Encek begitu gembira, dan selalu gembira, padahal penyakit Encek 'kan serius?”

Acong tercenung dan menjawab, ”saben ali yam lua welas, yah, ada olang laki lambut gondlong dateng, megang kaki owe, dia bilang: A Cong, ini aku, Yesus Kristus. Gimana owe nggak seneng, coba...”
Moral of the story

Sesibuk-sibuknya kita, sisihkan waktumu, untuk selalu bersama Tuhan Yesus, ..

Sabtu, 13 September 2008

Pada Pelajaran Olah Raga

Olah raga adalah sesuatu yang menyenangkan... tetapi sayang sekarang saya nggak punya kesempatan untuk itu. Tetapi sekali waktu saya akan meluangkan waktu untuk berolah raga lagi.
Pada saat kelas V SD pelajaran Olah raga diberikan oleh Bapak Soesanto. Dan biasanya dari dua jam pelajaran, sepuluh sampai lima belas menit pertama untuk pemanasan dengan senam ringan yang dipimpin oleh Pak Santo atau anak yang ditunjuk. Setelah itu kami sebagai muridnya diberi kebebasan untuk masuk dalam kelompok sesuai olah raga yang diinginkan, antara lain: bultangkis, tenis meja, atau bola voli, kadang-kadang ada sepak bola.

Sebenarnya tidak sepenuhnya dibebaskan, karena sekolah hanya menyediakan fasilitas penuh untuk bola voli. Sedangkan yang lain siswa membawa sendiri, kecuali meja dan lapangan tentunya.

Entah kenapa, pada pelajaran olah raga tiba-tiba muncul istilah kelompok elite dan kelas kambing (mestinya klompok kambing ya...). Kelompok Elite adalah kelompok yang memilih bulutangkis, karena pada saat itu harga raket dan bolanya termasuk mahal, apalagi untuk ukuran anak-anak pinggiran kota Palembang. Sedang yang ke sekolah hanya bermodal uang jajan pas-pasan atau tak punya uang jajan sekalian, pasti memilih bola voli atau sepakbola dan masuk kelompok kelas kambing.

Saya sering merasa iri... ingin sekali meminjam raket pada teman-teman saya dan merasakan main bulutangkis di lapangan yang tergolong baik. Untuk ukuran saat itu, lapangan bulutangkis yang diplester semen sudah termasuk baik, dibandingkan lapangan voli yang kalau hujan berkubang lumpur. tatapi keinginan itu saya pendam terus, tetapi saya tetap berniat untuk sekali waktu bisa memiliki raket dan membawa shuttlecock.

Sebenarnya saya pernah minta pada orang tua, tapi belum dikabulkan. Dan saya juga tahu diri sehingga tak pernah meminta lagi, mengingat kondisi keluarga saat itu dimana kami merupakan keluarga besar dengan tujuh saudara. Selain meminta pada orang tua, tak lupa meminta pada Tuhan dengan berdoa.

Saya dari dulu percaya kalau doa dipanjatkan dengan tulus akan dikabulkan, termasuk untuk mendapatkan raket dan shuttlecock. Entah dari mana, tiba-tiba suatu hari orang tua saya menghadiahkan barang yang saya idam-idamkan tersebut. Katanya sih dari sesorang. Raketnya tidak baru, tetapi shuttlecocknya baru. Saya bersyukur dan berterimakasih sekali.

Dengan penuh kebanggaan, saya membawa raket dan shuttlecock itu ke sekolah pada saat jam pelajaran. Dan agak beda dengan biasanya, setelah pemanasan... dengan bangga saya masuk kelompok bulutangkis. Entah kenapa tiba-tiba Pak Santo menarik tangan saya,
"Kembali ke sana!"
Dia menunjuk ke lapangan Voli.
"Tapi, Pak!"
Belum sempat saya jawab, dia sudah memukul punggung saya. Padahal saya belum jelaskan apa-apa.
"Kalau ga punya raket jangan di sini. Kere aja mau lagak punya."
Saya sudah keburu ketakutan dan merasa sakit di punggungku. Entah dia tahu apa tidak kalau saya sebenarnya menangis dalam hati. Begitu menyakitkan jadi orang miskin. Dia tak percaya kalu saya mampu punya raket dan shuttlecock.

Semenjak itu saya sangat membencinya.... dan saya sukar melupakan bayangan wajahnya saat itu. Matanya melotot dengan bertolak pinggang dbalut kaos tanpa lengan berwarna merah.

Tapi aku telah memaafkannya... dan ketika saya pindah ke Jakarta. Saya ceritakan semuanya... dan malahan saya berterimakasih dan minta doakan agar saya bisa menjadi orang yang kaya dan tidak dihina lagi.

Terima kasih Pak Santo.

Bapak J. Soesanto

Dengan membicarakan lagu, saya jadi teringat kenangan semasa di kelas VI SD Xaverius III, Jalan Sekojo (Sekarang Urip Sumoharjo), Sungai Buah, Palembang. Bagaimana keadaan sekolah ini sekarang? Sudah lama saya tidak melihatnya, tepatnya semenjak meninggalkan Palembang hampir 20 tahun silam.

Pada saat kelas VI SD, wali kelas saya adalah Bapak Soesanto. Kabar terakhir dia sudah dipanggil Tuhan beberapa tahun silam. Semoga Tuhan melapangkan jalan-Nya hingga dapat sampai pintu surga.

Banyak kenangan manis dan kenangan pahit dengan Pak Santo, demikian panggilannya. Saya masih ingat profilnya... gemuk pendek dan berkumis lebat. Sukanya pelajaran Matematika (waktu itu berhitung) dan Olah raga. Waktu itu belum seperti sekarang, wali kelas merangkap guru serba bisa... mengampu semua mata pelajaran.

Sebenarnya saya menyukai beliau, karena dia punya kesamaan dengan saya... tidak dapat menyanyi, sehingga selama setahun menjadi wali kelas, belum pernah sekalipun mengajarkan seni suara. Hal ini yang menyenangkan diri saya...

Hal lain yang menyenangkan... mungkin sama lagi, dia menyukai pelajaran matematika. Sehingga setiap hari ada matematika... dan ini sangat menyenangkan bagi saya. Mungkin ini salah satu faktor yang membuat saya menyukai matematika.

Terus hal yang tidak menyenangkan apa? Banyak sekali... tapi kalu saya ungkapkan di sini bukan berarti berniat mengungkap kejelekannya, tapi justru merupakan refleksi saya sebagai guru.

Pertama dan yang utama yang dulunya membuatku sangat membencinya adalah karena dia pernah memukul punggungku sehingga punggungku memar tanpa tahu apa kesalahanku. Cerita mengenai hal ini akan saya tuliskan pada kesempatan lain, karena kalau di sini akan jadi panjang lebar. Lengkapnya dapat klik pada tulisan: Pada Pelajaran Olah Raga.

Kedua, dia berlaku tidak adil. Saya bisa katakan ini karena memang dia berlaku tidak adil dengan saya dan beberapa teman saya yang lain. Tetapi kami tak mampu berbuat apa-apa dan hanya bisa menerima keadaan ini.

Ketiga, dia menghalangi kreativitasku untuk menggambar. Salah satu kesenangan saya dulu adalah menggambar. Tetapi sama seperti seni suara, dia juga tak menyukai pelajaran menggambar sehingga tak ada pelajaran menggambar selama setahun.

Demikian hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah saya alami. Semoga ini menjadi refleksi bagi saya selama jadi guru. Semoga saya tidak melakukan kekerasan kepada anak didikku, berlaku adil dan tidak menghalangi kreativitas anak didikku.

Bapak Ag. Suhadi

Masih seputar lagu... saya teringat kenangan saat kelas IV dan V SD. Saat itu wali kelas saya adalah Pak Suhadi, tapi lebih sering saya sebut "Ag" yang nama depannya sama dengan nama saya...

Pak Suhadi ini bagi saya guru yang menyenangkan juga menyebalkan... dan memang semua orang punya sisi baik dan sisi buruknya... tapi walau begitu, pada saat menyebalkan pun saya jadikan sebagai situasi yang menyenangkan.

Saya akan ceritakan dulu situasi yang menyenangkan dulu. Dia mengajar di kelas IV adalah guru IPA dan Seni Suara. Tentunya menyenangkan kalau mengajar IPA. Menyenangkan karena dia membebaskan siswa-siswanya mencatat kalau memng pelajaran yang diterangkannya sudah dimengerti. Karena saya memang senang membaca maka apa yang diterangkannya bukan merupakan hal baru bagi saya, jadi nggak perlu dicatat. Dan ternyata pada saat ulangan nilai saya selalu bagus.

Pelajaran IPA di SD Xaverius III Palembang tempat saya belajar dulu, dibagi dua bagian: Ilmu Hewan dan Ilmu Tumbuh-tumbuhan. Dan buku catatannya boleh disatukan dalam satu buku. Bagian ilmu hewan dari depan sedangkan ilmu tumbuh-tumbuhan dari tengah. Dengan bebas mencatat memang sangat menyenangkan karena bebas dari capek dan tidak menghabiskan kertas dan ballpoint. Jadi tidak usah heran kalau buku tipis yang saya sediakan tidak pernah habis terpakai.

Untuk pelajaran seni suara terbagi dalam pelajaran teori dan praktek, bergantian tiap minggu. Bila minggu ini teori maka minggu depan praktek. Untuk teori mempelajari not balok dan praktek bisanya menyanyi bergantian. Pada saat menyanyi bergantian, saya selalu tahu diri untuk keluar kelas. Mulanya sih saya diusir karena tidak mau menyanyi depan kelas, tetapi selanjutnya tahu diri keluar sebelum diusir.

Di luar kelas sangat menyenangkan karena dapat melihat teman-teman kelas lain yang sedang bermain bola pada jam olah raga. Hal ini bagi saya adalah hal yang menyebalkan tetapi saya anggap menyenangkan. Keadaan ini berlaku hingga kelas V SD.

Walau tidak pernah ikut praktek tetapi nilai pelajaran Seni Suara lumayan baik. Hal ini karena pada nilai teori selalu mendapat nilai terbaik. Tetapi ini bukan tanpa usaha... pernah pak Suhadi memberi saya nilai jelek, tapi saya protes. Kira-kira begini:

Saya menghadap Pak Suhadi dan tanya, "Pak koq nilai saya jelek"
"Habis tidak pernah mau nyanyi."
"Kan ga bisa pak"
"Ya jangan berharap nilai bagus."
"Tapi bapak kan juga selalu pinjam buku saya."
Memang saya punya catatan yang lengkap dan kalau dia mau ngasi catatan di kelas lain selalu buku saya yang dipinjam.

Semanjak itu saya dapat nilai lumayan baik... dan bagi saya tetap saling menguntungkan. Terimakasih Pak Suhadi.

Lagu Kenangan

Suatu saat, pada saat akan memulai pelajaran... anak-anak minta saya menyanyi... Aku bingung mesti nyanyi apa karena jujur saja emang saya nggak bisa menyanyi. Dan otomatis saya tidak punya lagu favorit. tetapi bukan berarti saya tidak menyukai lagu. Saya menyukai dan dapat menikmati hampir semua lagu yang didengar.

Anak-anak minta lagu mungkin sehubungan tugas dari Mr. Keith, Native Speakernya, dan saya pun mendapat tugas yang serupa dan seharusnya sudah harus siap kemarin (11 September 2009). Tetapi kemarin masih bisa mangkir nggak masuk les Inggris dengan alasan harus mendampingi XII IPA 1 dan XII IPA 2 latihan misa.

Saya ingat kembali masa lalu tentang lagu... semenjak kelas 1 SD saya hanya hapal dan mau menyanyikan satu lagu. Apakah ini lagu favorit?

Aku tukang pos rajin sekali
Surat kubawa naik sepeda
siapa saja aku layani tidak kupilih
miskin dan kaya
Kring kring pos

Saya tidak ingat persis kenapa menyukai lagu di atas? Mungkin karena pendek. Tetapi mungkin juga karena saya melihat tukang pos saat itu adalah pekerjaan mulia. Dan yang jelas pada saat SMP dan SMA serta waktu kuliah... saya banyak tergantung tukang pos yang selalu berjasa mengantar wesel buat saya hasil tulisan-tulisan saya di media massa...