Sabtu, 13 September 2008

Pada Pelajaran Olah Raga

Olah raga adalah sesuatu yang menyenangkan... tetapi sayang sekarang saya nggak punya kesempatan untuk itu. Tetapi sekali waktu saya akan meluangkan waktu untuk berolah raga lagi.
Pada saat kelas V SD pelajaran Olah raga diberikan oleh Bapak Soesanto. Dan biasanya dari dua jam pelajaran, sepuluh sampai lima belas menit pertama untuk pemanasan dengan senam ringan yang dipimpin oleh Pak Santo atau anak yang ditunjuk. Setelah itu kami sebagai muridnya diberi kebebasan untuk masuk dalam kelompok sesuai olah raga yang diinginkan, antara lain: bultangkis, tenis meja, atau bola voli, kadang-kadang ada sepak bola.

Sebenarnya tidak sepenuhnya dibebaskan, karena sekolah hanya menyediakan fasilitas penuh untuk bola voli. Sedangkan yang lain siswa membawa sendiri, kecuali meja dan lapangan tentunya.

Entah kenapa, pada pelajaran olah raga tiba-tiba muncul istilah kelompok elite dan kelas kambing (mestinya klompok kambing ya...). Kelompok Elite adalah kelompok yang memilih bulutangkis, karena pada saat itu harga raket dan bolanya termasuk mahal, apalagi untuk ukuran anak-anak pinggiran kota Palembang. Sedang yang ke sekolah hanya bermodal uang jajan pas-pasan atau tak punya uang jajan sekalian, pasti memilih bola voli atau sepakbola dan masuk kelompok kelas kambing.

Saya sering merasa iri... ingin sekali meminjam raket pada teman-teman saya dan merasakan main bulutangkis di lapangan yang tergolong baik. Untuk ukuran saat itu, lapangan bulutangkis yang diplester semen sudah termasuk baik, dibandingkan lapangan voli yang kalau hujan berkubang lumpur. tatapi keinginan itu saya pendam terus, tetapi saya tetap berniat untuk sekali waktu bisa memiliki raket dan membawa shuttlecock.

Sebenarnya saya pernah minta pada orang tua, tapi belum dikabulkan. Dan saya juga tahu diri sehingga tak pernah meminta lagi, mengingat kondisi keluarga saat itu dimana kami merupakan keluarga besar dengan tujuh saudara. Selain meminta pada orang tua, tak lupa meminta pada Tuhan dengan berdoa.

Saya dari dulu percaya kalau doa dipanjatkan dengan tulus akan dikabulkan, termasuk untuk mendapatkan raket dan shuttlecock. Entah dari mana, tiba-tiba suatu hari orang tua saya menghadiahkan barang yang saya idam-idamkan tersebut. Katanya sih dari sesorang. Raketnya tidak baru, tetapi shuttlecocknya baru. Saya bersyukur dan berterimakasih sekali.

Dengan penuh kebanggaan, saya membawa raket dan shuttlecock itu ke sekolah pada saat jam pelajaran. Dan agak beda dengan biasanya, setelah pemanasan... dengan bangga saya masuk kelompok bulutangkis. Entah kenapa tiba-tiba Pak Santo menarik tangan saya,
"Kembali ke sana!"
Dia menunjuk ke lapangan Voli.
"Tapi, Pak!"
Belum sempat saya jawab, dia sudah memukul punggung saya. Padahal saya belum jelaskan apa-apa.
"Kalau ga punya raket jangan di sini. Kere aja mau lagak punya."
Saya sudah keburu ketakutan dan merasa sakit di punggungku. Entah dia tahu apa tidak kalau saya sebenarnya menangis dalam hati. Begitu menyakitkan jadi orang miskin. Dia tak percaya kalu saya mampu punya raket dan shuttlecock.

Semenjak itu saya sangat membencinya.... dan saya sukar melupakan bayangan wajahnya saat itu. Matanya melotot dengan bertolak pinggang dbalut kaos tanpa lengan berwarna merah.

Tapi aku telah memaafkannya... dan ketika saya pindah ke Jakarta. Saya ceritakan semuanya... dan malahan saya berterimakasih dan minta doakan agar saya bisa menjadi orang yang kaya dan tidak dihina lagi.

Terima kasih Pak Santo.

Tidak ada komentar: