Kamis, 16 Agustus 2018

NUANSA RUMAH KITA (36)

#penagraf_lepas
NUANSA RUMAH KITA (36)
*Malam Jumat Kliwon
Oleh Agust Wahyu

Tari berusaha memejamkan matanya walau jarum pendek pada jam dinding kamar baru mendekat pada angka 9. Dia tak ingin merasakan kesepian malam yang terlahir tanpa kehadiran Nadya. Nadya sedang kemah bersama dua hari satu malam pada acara sekolahnya, sebagai penutupan MPLS, masa perkenalan lingkungan sekolah, bagi siswa kelas X. Walau seminggu terakhir membantu Nadya mempersiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa, tapi Tari tak sedikitpun bertanya tentang aktivitas yang akan dilakukan di sana. Dan saatnya nanti Nadya pulang, dia juga tak tanya apapun kecuali puteri cantiknya cerita. "Hati-hati sayang. Mama percaya kamu bisa jaga diri," hanya itu pesannya saay Nadya akan berangkat.

Baginya cerita mengenai MPLS membuka luka lama hatinya, tentang cinta pertamanya yang harus sirna karena Tuhan mengambilnya lebih cepat. Cukup lama Tari tak mampu melupakan kepedihan hatinya. Selama SMA dia menutup rapat hatinya, padahal banyak surat cinta yang mengisi laci meja belajar di kamarnya. Tak heran temen-temen cowoknya menjulukinya "Lady Cool". Tari makin membentengi diri saat POSMA, Pekan Orientasi Mahasiswa, yang harus diikuti sebagai mahasiswa baru. Sejak hari pertama acara dia sudah membatasi diri dengan menjaga jarak dengan kakak-kakak kelasnya. Dia berusaha mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan baik. Dengan demikian dia tak akan banyak berhubungan dengan kakak kelas yang berpotensi terjadi hubungan lebih lanjut. Dan penyesalan terjadi justru saat penutupan POSMA, pada saat acara kemah di Gunung Gede.

Malam makin tinggi. Hembusan angin kemarau tiba-tiba berasa basah. Dari jauh terdengar lolongan anjing yang merintih bagai suara serigala. Tari tak berani mematikan lampu kamarnya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada kalender di kamarnya. Hari Kamis Wage yang artinya malam ini adalah Malam Jumat Kliwon. Tiba-tiba bulu-bulu di tangannya berdiri terlebih di kuduknya. Ditariknya selimut menutupi wajahnya, lalu bantal ditekan ke telinganya , dan mata dirapatkan. Padahal dia bukan orang yang penakut, terutama dengan yang namanya hantu atau kuntilanak. Baginya semua itu hanya khayalan karena belum pernah melihat penampakannya. Tak mengherankan bila pada saat Sesi Jurit Malam di kemah penutupannya, dikenal sebagai mahasiswi pemberani.

“Mama… Nadya berani lho!” Nadya masih dengan pakaian penuh lumpur sehabis jurit malam langsung cerita dengan Tari, mamanya tercinta. Dia cerita bagaimana dia berjalan bersama empat teman lainnya yang semuanya puteri. Hawa semakin dingin dan semakin sunyi saat putaran akhir. Saat mulai berjalan lagi, dia merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Saat dia melihat ke belakang, tidak ada orang lain kecuali teman-temannya, hanya kegelapan. Tiba-tiba teman-temannya panik. Nadya merasa ada angin berhembus kencang melewatinya. Sampai tiba-tiba dia melihat di ujung gelap itu seperti ada makhluk putih berpocong yang bergelantungan di pohon, di pinggir jalan yang akan mereka lewati. Entah apa yang membuatnya reflek. Diambilnya batu yang cukup besar yang ada di dekatnya lalu dilemparnya pocong itu dengan sekuat tenaga. “Dan… dia jatuh, Ma!”

Tari tergagap dan terbagun. Napasnya tak beraturan. Detak jantungnya terpacu lebih cepat. Tak ada Nadya di sampingnya. Baru jam 2 pagi. Dia mimpi! Rasa ketakutan kembali menyergapnya. Dia ingat, sebelum tidur lupa berdoa. Walau masih ada rasa takut, dipaksanya bangun dan meneguk air putih. Lalu dia berdoa hingga sesak di dadanya berkurang. Tari merasa heran kenapa dia mimpi seperti itu. Dia tahu bila Nadya banyak mewarisi sifat-sifatnya, termasuk sifatnya yang berani, tetapi yang melempar pocong dengan batu itu adalah dirinya. “Itu aku! Bukan Nadya,” bantahnya dengan keras walau hanya dalam hati. Ya, Tari tak mungkin bisa melupakannya. Pocong itu ternyata kakak kelasnya, dua tahun di atasnya. Dia jatuh terduduk dari tempat yang cukup tinggi sehingga ada tulangnya yang patah dan membuatnya tergantung kursi roda seumur sisa hidupnya. Tari merasa sangat bersalah. Entah karena iba atau cinta, kalau akhirnya Tari tak mampu menolak lamarannya. Dia adalah Mas Hen, suaminya, sekaligus papanya Nadya, lengkapnya Nadya Frederika Dewanti .

Halim, 11 Agustus 2018
#nuansarumahkita

Penulis yang sudah berpartisipasi
Agust Wahyu, Merry Srifatmadewi, Albertha Tirta, Camelia Septiyati Koto, Ypb Wiratmoko, Jenny Seputro, Yosep Yuniarto, Siu Hong-Irene Tan, Stella Christiani Ekaputri Widjaja, Waty Sumiati Halim, Maria Miguel, Sylvie Trenggono, Budi Hantara

Catatan:
- Pentigraf atau penagraf ini merupakan cerita lepas judul "NUANSA RUMAH KITA" yang menghadirkan tokoh utama wanita sederhana dengan hati yang cantik bernama Tari, lengkapnya Lestari Ayu Ningtyas.
- Siapa saja boleh menyumbangkan tulisan di sini, tentunya dengan pesan-pesan positif yang menyejukkan.
- Pentigraf atau penagraf dapat dikemas dengan sedih, humor, dan sebagainya.
-Bagi yang beminat dapat dikirim lewat inboks ke Agust Wahyu jangan lupa paling bawah tulis #nuansarumahkita
- Bagi Anda yang ingin membaca lengkap pentigraf atau penagraf lepas ini dapat dilihat di https://anggrek-white.blogspot.com/

Salam Literasik

Tidak ada komentar: